Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 4]
Jumat, 10 November 2017

Bismillah.

Alhamdulillah kita bisa dipertemukan kembali untuk membahas faidah-faidah yang terkandung dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah.

Pada bagian-bagian terdahulu sudah kita dapatkan beberapa keterangan penting berkaitan dengan tujuan penciptaan jin dan manusia serta makna ibadah dan tauhid. Kita juga sudah memahami bahwa hakikat ibadah itu adalah puncak perendahan diri dan puncak kecintaan kepada Allah. Ibadah itu adalah hak Allah, sehingga memalingkan ibadah kepada selain Allah -di samping beribadah kepada-Nya- adalah bentuk kesyirikan.

Kita juga sudah mengenal makna tauhid; bahwa tauhid ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik. Sebab ibadah tidaklah dikatakan ibadah yang benar kecuali apabila disertai dengan tauhid. Orang yang beribadah kepada Allah tetapi di sisi lain atau di waktu lain dia juga beribadah kepada selain-Nya maka ibadahnya itu sia-sia. Oleh sebab itu setiap perintah beribadah kepada Allah hakikatnya adalah perintah untuk mentauhidkan-Nya.

Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Ali bin Abi Thalib menafsirkan ayat itu, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk Aku perintahkan mereka beribadah kepada-Ku dan Aku seru mereka untuk beribadah kepada-Ku.” Mujahid berkata, “Melainkan untuk Aku perintah dan larang mereka.” Inilah penafsiran yang dipilih oleh az-Zajaj dan Syaikhul Islam (lihat ad-Durr an-Nadhidh, hal. 10)

Imam al-Baghawi rahimahullah menyebutkan salah satu penafsiran ayat ini. Bahwa sebagian ulama menafsirkan “Melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” dengan makna, “Melainkan supaya mereka mentauhidkan-Ku.” Seorang mukmin akan tetap mentauhidkan-Nya dalam keadaan sulit dan lapang, sedangkan orang kafir mentauhidkan-Nya ketika kesulitan dan bencana namun tidak demikian dalam kondisi berlimpah nikmat dan kelapangan. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Apabila mereka naik di atas perahu, mereka pun berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/doa untuk-Nya.” (al-‘Ankabut : 65) (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 1236) 

Ulama yang menafsirkan “Kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” dengan makna “Kecuali supaya mereka mentauhidkan-Ku” adalah al-Kalbi, sebagaimana disebutkan oleh Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam tafsirnya (lihat Fat-hul Qadiir, hal. 1410)

Imam al-Baghawi rahimahullah mengutip perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Setiap -perintah untuk- beribadah yang disebutkan di dalam al-Qur’an maka maknanya adalah -perintah untuk- bertauhid.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 20)

Hal itu sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian.” (al-Baqarah : 21). Perintah untuk menyembah/beribadah di dalam ayat ini mencakup dua pemaknaan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah; pertama bermakna mentauhidkan-Nya dan yang kedua bermakna taat kepada-Nya. Kedua penafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma (lihat Zaadul Masiir, hal. 48)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil penafsiran Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma terhadap ayat (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian…” (al-Baqarah : 21). Beliau berkata, “Tauhidkanlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/195)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan, kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)

Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaadul Masir, hal. 1014)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi: 110).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan selain-Ku bersama diri-Ku maka Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim)

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan [agama] kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia pasti tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia pasti tertolak.”

Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ (yang artinya), Hanya kepada-Mu kami beribadah terkandung syarat ikhlas dalam beribadah. Karena di dalam kalimat ini objeknya dikedepankan -yaitu iyyaka– dan didahulukannya objek -dalam kaidah bahasa arab- menunjukkan makna pembatasan. Sehingga makna ‘iyyaka na’budu’ adalah ‘kami mengkhususkan kepada-Mu dalam melakukan ketaatan, kami tidak akan memalingkan ibadah kepada siapa pun selain Engkau’ (lihat Min Hidayati Suratil Fatihah karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hal. 18)

Kalimat ‘iyyaka na’budu’ merupakan perealisasian dari kalimat tauhid laa ilaha illallah, sedangkan kalimat ‘iyyaka nasta’in’ mengandung perealisasian dari kalimat laa haula wa laa quwwata illa billah. Karena laa ilaha illallah mengandung pengesaan Allah dalam hal ibadah, dan laa haula wa laa quwwata illa billah mengandung pengesaan Allah dalam hal isti’anah/meminta pertolongan (lihat Min Hidayati Suratil Fatihah, hal. 15)

Di dalam ‘iyyaka na’budu’ terkandung pemurnian ibadah untuk Allah semata. Sehingga di dalamnya pun terkandung bantahan bagi orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah di samping ibadah mereka kepada Allah (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 183)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan sholat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah muslim…” (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39)

Ibadah yang murni untuk Allah inilah yang dimaksud dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Para ulama menafsirkan bahwa makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ adalah ‘supaya mereka mentauhidkan-Ku dalam beribadah’ (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 329)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ adalah agar mereka mengesakan Aku (Allah, pent) dalam beribadah. Atau dengan ungkapan lain ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ maksudnya adalah agar mereka mentauhidkan Aku; karena tauhid dan ibadah itu adalah satu (tidak bisa dipisahkan, pent).” (lihat I’anat al-Mustafid [1/33])

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Apabila anda telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasanya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila bersama dengan tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak disebut sholat kecuali apabila bersama dengan thaharah/bersuci. Apabila syirik memasuki ibadah maka ia menjadi batal seperti halnya hadats yang menimpa pada thaharah.” (lihat matan al-Qawa’id al-Arba’ dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 331)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “… Sesungguhnya ibadah tidaklah diterima tanpa tauhid. Hal itu diserupakan dengan thaharah/bersuci untuk mengerjakan sholat. Karena tauhid merupakan syarat diterimanya ibadah; yaitu ibadah harus ikhlas. Adapun thaharah adalah syarat sah sholat. Maka sebagaimana halnya tidak sah sholat tanpa thaharah/bersuci, maka demikian pula tidaklah sah ibadah siapa pun kecuali apabila dia termasuk orang yang bertauhid…” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih alu Syaikh, hal. 8)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah berkata, “Apabila telah dimaklumi bahwasanya sholat yang tercampuri dengan hadats maka hal itu membatalkannya, demikian pula halnya ibadah yang tercampuri syirik maka itu juga akan merusaknya. Seperti halnya hadats yang mencampuri thaharah maka hal itu membatalkannya. Akan tetapi apabila syirik yang dilakukan itu termasuk syirik akbar maka ia membatalkan semua ibadah. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sungguh jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu.” (az-Zumar : 65). Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Seandainya mereka berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amal yang pernah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88). Adapun apabila ia tergolong syirik ashghar maka akibatnya adalah menghapuskan amal yang tercampuri dengan riya’ saja dan tidaklah menghapuskan amal-amal yang lain yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh al-Barrak, hal. 11)

Demikian sedikit catatan faidah dan cuplikan keterangan yang bisa kami sajikan dalam kesempatan yang singkat ini. Semoga bermanfaat bagi kita dan semakin memahamkan kepada kita tentang hakikat dan makna ibadah; bahwa ibadah yang diterima adalah ibadah yang murni dipersembahkan kepada Allah dan bersih dari syirik besar maupun syirik kecil. Mudah-mudahan Allah berikan taufik kepada kita untuk terus belajar dan mengamalkan tauhid ini hingga ajal tiba.

Wallahul musta’aan. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/seri-mengenal-tauhid-bagian-4/